Entri yang Diunggulkan

ONCE UPON A TIME IN CHINA (BEIJING & SHANGHAI) INTERNASIONAL FIELD STUDY MAGISTER MANAJEMEN - FEB UNIVERSITAS LAMPUNG

Di Kota Shanghai terdapat beberapa universitas yang cukup populer, antara lain: Shanghai Jiao Tong University; Shanghai Normal University; S...

Sabtu, 03 April 2010

DEJAVU : JANGAN GENERALISIR PERILAKU KAMI DENGAN GAYENG TERUS


Hati ki Gembul turut berkabung ketika mencermati pembicaraan yang kurang sedap di semua kalangan penduduk negeri dari warung kopi sampai dunia maya. 


Betapa tidak, ketika negerinya sedang membenahi dan menghimpun segala daya upaya agar rakyatnya hidup mandiri bersaing sehat dengan negeri jiran lainnya yang telah lebih dahulu makmur dengan kehidupan para priyayinya yang modern dan beretika dalam berbagai sendi sehingga para saudagar dan rakyat patuh dan tidak berani melanggar pranatan negeri.


Berita di triwulan pertama tahun macan logam diramaikan musibah dahsyat kembali terjadi, didalangi para priyayi yang mbalelo karena hasrat untuk kenikmatan duniawi, ulah komplotan Gayeng Terus (GT) yang deteren efeknya membuat para Priyagung terkesima dan murka. Padahal sebagai calon Bekel, hidup GT sudah dijamin lebih berkecukupan dibandingkan orang kebanyakan. 


Investasi yang tidak sedikit sudah dikeluarkan untuk mendidik GT hingga memiliki ilmu yang sangat mumpuni dan ngedap-edapi, lha kok sekarang tumindak culikonya bikin nggilani dan nggegirisi sehingga tega mengkhianati 40.000 alumninya. 

Gayeng Terus yang nota bene junior 4 warsa darinya tapi pundi-pundi harta yang dimiliki melimpah ruah melebihi Kanjeng Adipati manapun. Apa mungkin Gayeng Terus sudah berubah jadi Dewata Cengkar yang sanggup mengunyah mentah-mentah atau ternak tuyul di kediamannya ya?


Ki Gembul jadi teringat peristiwa 3,5 warsa silam sowan ke Telogosarangan, Argo Lawu, ketika itu Eyang Imam berpesan sedih melalui ki Ajar Hadi: “Walah kok Gembul mau-maunya dijadikan tumbal?” 


Laksana disambar petir di siang bolong, tersayat pedih hati ki Gembul ketika sebulan kemudian saat 1 Suro isyarat menjadi terang, jika ternyata keris pusakanya telah disalahgunakan oleh permufakatan jahat Suro Bendhol (dirayu agar mau membeli Sedan Timor baru direyen miliknya dengan harga Rp 15 juta dan bayarnya kapan saja boleh, karena ditolak dengan halus oleh Ki Gembul dengan jawaban "terima kasih bahwa beberapa saat lagi dia sudah dapat fasilitas mobil plat merah"). 


Beruntung keris pusaka Panuntun dan Cemeti Surken (warisan Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwa Bhumi dari ksatrian Sekaran, Singhasari) masih bisa dia selamatkan. Sehingga Suro Bendhol berujar "kalau di atas langit pasti ada langit, tapi dia lupa kalau berkat kesabaran (ilmu Nyebar Godong Koro dan ajian Pancasona) Ki Gembul maka langitnya jauh lebih tinggi dari Suro Bendhol". Terbukti 17 tahun kemudian Suro Bendhol "Ngunduh Wohing Pakarti sebab perilakunya Nggege Mongso".


Hanya satu permintaan dari qalbu ki Gembul melalui sohibnya kepada Yang Maha Kuasa, agar diijabah dan diriyadloh hati dan jiwanya untuk ikhlas dan sabar sehingga selamat dunia wal akhirat sampai akhir hayat. Dibuang jauh-jauh rasa amarah dan dendam, bagaimanapun itu semua sudah terjadi dan tak mungkin untuk dirubah kembali. 


Baginya hanyalah satu prinsip, jika musibah itu adalah cobaan semoga segera diberikan petunjuk dan kelak akan diperoleh hikmahnya dan jika musibah itu merupakan azhab semoga akan selalu diampuni dosanya.



Tak berselang lama ki Gembul diberi amanah untuk menjabat Bekel di wilayah nusa perbatasan terluar di bang lor kulon  tengah samudera Andaman dengan kondisi kehidupannya serba darurat setelah satu warsa dilanda bencana Lindu (gempa bumi) seluas 80 km x 200 km harus berlayar 150 km dari pelabuhan Fansuria Nusa Swarnabhumi. 



Walaupun sebagai seorang Bekel/ Lurah Parjurit, fasilitas yang didapat sangatlah minim apalagi ditambah anggotanya mengalami demotivasi akibat tak sanggup menghadapi seleksi alam sampai akhirnya desersi. Tapi Ki Gembul selalu bersemangat dengan tidak takut, tidak malu dan tidak malas agar suatu saat kelak bisa menduduki posisi sebagaimana Sang Banteng Mataram (Joko Umbaran/ Pangeran Purbaya) tokoh leluhur idolanya.



Di tataran Banua justru ki Gembul memperoleh nikmat ketenangan jiwa yang luar biasa, tak ada lagi godaan jin/ gadarwa maupun Denawa yang ujung-ujungnya untuk sesajen setan karena selalu dikawal Sang Hyang Naga Pertala guru Sang Prabu Angling Darma. Diperoleh pelajaran adversitas yang sangat berharga dengan merasakan proses kehidupan sebagai perjuangan suci yang sangat berat untuk dapat mengendalikan dan mengekang segala nafsu yang ada pada dirinya. 



Dalam hatinya selalu diingatkan jika pujian sesaat hanya akan membuat dirinya terlena, jika ia sukses menjalankan jejibahan pasti ada yang iri dan dengki, tetapi apabila gagal hanya kebencian dan caci maka yang diperoleh bagaikan tumpahan lahar dari kubangan kawah Candradimuka.


Tahun kemarin setelah 3 warsa tidak berjumpa, ki Gembul mengunjungi sahabatnya ki Atmo, mereka terhanyut dalam pembicaraan remunerasi. Karena mulai September 2008 telah resmi 32.000 laskar Cakti Budhi Bhakti tanpa terkecuali telah berikrar dalam naungan reformasi birokrasi setelah ditest Inner Viewnya dan dibekali paket Change Management, menyusul sebagian priyayi yang lebih dahulu menikmati remunerasi angkatan 2002 dan angkatan 2005.



Menurut pemahaman ki Gembul, wujudnya sama dengan konsep KAIZEN di swasta dan menggunakan tolok ukur model Al-Gore: "smaller and smarter government, but stronger regulations". Jadi empat pilar harus dibenahi secara berkelanjutan yaitu Standar Operating Procedure (SOP), Remunerasi dan Kompetensi Sumber Daya Aparatur, sarana Teknologi Informasinya dan sarana Infrastruktur. Akan tidak logis jika rumah makan yang sedang direnovasi dituntut untuk memperoleh keuntungan yang maksimal, apalagi ada beberapa ekor tikus nyasar yang belum tertangkap Mental Detektor.



Ditawarinya ki Gembul untuk membeli mobil Xenia second milik ki Atmo bahkan dileasing juga boleh, tetapi dengan halus dijelaskan oleh ki Gembul jika remunerasi yang diterimanya memang besar tetapi dia harus memperketat portofolio pengeluaran untuk angsuran kredit rumah, asuransi kesehatan dan pendidikan anak, belum untuk ongkos mudik dan kebutuhan dua dapur yang lumayan besar.



Jadi diperhitungkan sama dengan take home pay ki Atmo apalagi bisa setiap hari bersama keluarga, sedangkan ki Gembul dengan 12 hari jatah cuti dalam setahun paling cepat 40 hari baru bisa bersama anak istri, maklum jauh jika ditempuh jalan darat bisa sampai lebih dari 40 jam melalui darat, laut dan udara.


Sebelum dijalankan reformasi birokrasi diprediksi para abdi akan terpetakan dalam 4 level golongan/level: 


Level pertama yaitu abdi yang benar-benar bersih dan tidak mau melakukan apapun yang dia yakini tidak benar. Tetapi karena sering berseberangan dengan arus, sebagian dari mereka banyak yang terpinggirkan, lambat berkarier dan kurang termotivasi alias pasrah.



Level kedua adalah para abdi yang terpaksa berbuat dan hanya bersifat ikut-ikutan untuk memperoleh penghasilan yang sepadan dengan tugasnya karena sistem kerja tidak mendukung, sehingga terkesan “Pinter Goblok Sami Mawon”. Rasa tidak puas karena disingkirkan oleh rasa saling iri yang sangat menonjol, karena ejekan “Buat apa berilmu tinggi jika kalah kaya dengan yang tidak mengenyam sekolahan”. Tapi golongan yang paling mayoritas ini akan sadar secara total setelah direformasi dengan dibekali Profesionalisme, Integritas, Team Work dan Inovasi dalam ikatan kode etik.


Level ketiga atau abu-abu muncul pada abdi yang memiliki jabatan dan posisi strategis yang rawan dengan rayuan mas inten rajabrana dan godaan gratis-fikasi bahkan diiming-imingi selusin bidadari persembahan Bethoro Kolo. Sekeras-kerasnya batu jika terkena tetesan air ribuan kali pasti akan berlubang, maka jika air comberan yang menetes jadilah mereka golongan mbalelo yang hoby MaLiMa. Tetapi apabila air embun jernih yang menetes maka semua durjana sekaliber Dewata Cengkar dan Rahwana akan mati langkah tak berkutik untuk berbuat angkara murka. Abdi tersebut walaupun ada peluang tidak mau hidup neko-neko cukup pada batas sewajarnya.


Level terakhir dan tidak mungkin dibenahi mentalnya adalah abdi yang menganut aliran MaLiMa. Gaya hidupnya menyimpang ekstrim karena berperilaku Maling, Madat, Madhon, Main dan Mabok. Dari masa ke masa mereka akan lenyap karena seleksi alam, sebagian yang hidup mengalami gangguan mental untuk menunggu diapkir atau melarikan diri.


Ki Gembul selalu mengingat nasehat eyang canggahnya Eyang Condrokusumo trah Sri Aji Jayabhaya dari Pegunungan Menoreh, bangga dengan leluhur beliau yang sangat mencintai negeri gemah ripah loh jinawi yang terkenal titi tentrem kerto raharjo oleh negeri manca. Tetapi sayang, kehidupan rakyatnya yang sebagian masih ada yang menganggur dan kelaparan; yang sebagian masih sangat berhak untuk memperoleh kecerdasan dalam berpikir dan kecerdasan dalam berperilaku; yang sebagian masih membutuhkan pencerahan etika budi pekerti sebagai priyayi serta yang sebagian masih berhak memperoleh jaminan dan pengayoman dalam berkehidupan sebagai bangsa yang terpandang.


Semua cita-cita itu hanya bisa diwujudkan dengan biaya yang luar biasa besarnya untuk menghidupi 250 juta rakyat yang ingin hidup sebagai tuan di negeri sendiri.




Tidakkah kita semua harus berusaha belajar untuk bisa saling memaafkan sebab semua manusia pasti pernah bermasalah dan berbuat salah tetapi bukan berarti mereka disingkirkan karena kita juga masih sangat membutuhkan. Apabila azhab telah datang jadikan semua itu sebagai pelajaran untuk generasi penerus agar semakin arif dan bijaksana dalam segala tindakan yang diyakini benar.


Alangkah indahnya jika yang pernah bermasalah dan berbuat salah memohon pengampunan dan semoga Kanjeng Sinuwun memberikan pengampunan dengan syarat semua abdi negeri yang telah berikrar dalam etika budi pekerti untuk menjadi priyayi yang mengedepankan Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani yang selalu waspada dan teliti melalui reformasi birokrasi; secara ikhlas dan sukarela mengembalikan raja brana yang jumlahnya telah dianggap melampaui batas dan telah diakui bukan haknya, untuk kemudian diberikan kepada mereka yang berhak dan yang membutuhkan.


Malam semakin larut ki Gembul tidak sanggup lagi menahan kantuk, karena besok harus melakukan tugas kembali dan tak ingin terlambat absensi sidik jari sebagai abdi negeri yang tetap menjujung disiplin dan memotivasi rekan dan stafnya untuk selalu semangat menyongsong hari esok.



KANDURU WIRA SAPTA WINAYA





(Tokoh dalam dongeng ini fiktif belaka mohon maaf jika seandainya ada kesamaan nama dan peristiwa sehingga menjadikan tidak berkenan).




Sabtu, 20 Februari 2010

JANGAN KARENA KETERPAKSAAN HATIMU SAJA


Sadarkah kita hidup hanya sekali 
Tak mungkin bertahan seribu tahun lagi 
Tidak inginkah kita berbuat bakti 
Walau hanya sebesar biji sawi 

Oh hamba yang hina kelana 
Kau pikir dirimu sehebat apa? 
Puaskah dirimu akan titipan sementara 
Buah dari cipta dan karsa belaka 
 

Banyakkah harta yang terus terkais 
Banggakah dengan tahta yang terdaki 
Bahagiakah akan cinta yang terpetik 
Harumkah nama yang telah terhembus 

Renungkan semua bisa lenyap tak tersisa 
Melalui kehendak-Nya yang tak disangka 
Jangan paksa otakmu yang lelah 
Jangan siksa batinmu untuk terbelah 
 

Jadilah seorang Pujangga sejati 
Yang selalu hidup walaupun telah mati 
Ikhlas menorehkan goresan mulia 
Pesan untuk generasi penerus nantinya 
 
(Angan-angan ini saya dedikasikan untuk rekan-rekan yang sangat luar biasa, terima kasih.....)



Minggu, 16 Agustus 2009

RENUNGAN REFORMASI BIROKRASI










  1. Apa yang tersimpan di hati sanubari kita, akan tertuang dalam pikiran kita.
  2. Apa yang kita pikirkan, akan terucap menjadi kata-kata.
  3. Apa yang menjadi ucapan kita, akan terwujud dalam perbuatan dan tindakan.
  4. Apa yang telah kita perbuat, akan menjadi catatan nilai oleh orang lain.
  5. Penilaian yang telah diberikan orang terhadap kita, akan menentukan kesuksesan kita.

Demikianlah kira-kira terjemahan puisi yang indah dari Mahatma Gadhi dari buku “The Sacret of Mindset” yang telah kubaca sembilan bulan yang lalu. Sederhana memang tapi bagiku kalimat demi kalimat terasa begitu indah. Apalagi di setelah pulang kantor aku merenung sejenak: “Apakah yang telah kukerjakan seharian tadi memberikan nilai tambah bagi staf bawahanku, atasanku dan kolegaku atau jangan-jangan raport merah untukku”.


Itulah luar biasa dahsyatnya manajemen perubahan Reformasi Birokrasi yang telah meresap membumbui jiwaku dengan warna yang jauh berbeda dari tiga tahun yang lalu. 
Kurasakan betapa mulianya beliau yang telah mewujudkan pesan lima abad yang lalu dari para leluhur untuk memberikan kami “Baju yang baru dan lebih layak, membalut badan kami yang nyaris telanjang dan tidak memperdulikan rasa malu” sehingga kami saat ini menjadi birokrat yang beretika dan lebih bermartabat. Kok bisa ya, banyak pikiran kotor mengusik tidurku … apa kesalahanku luar biasa besarnya … apa sengaja aku disingkirkan…atau ini suatu amanah yang mulia untuk menempa jiwaku? 


Kubayangkan saat itu anakku yang sedang lucu-lucunya baru melanjutkan ke TK besar, harus berpisah untuk sementara waktu karena papanya mendapat promosi sebagai Kepala Seksi Keberatan dan Pengurangan KP PBB Gunung Sitoli di sebelah timur pulau Nias di tengah samudera Hindia dan Andaman berukuran 200 km x 80 km di paling ujung barat negeri kita tercinta berbatasan dengan negara Srilanka.


Kota Gunungsitoli berjarak 150 km dari kota Sibolga dipisah-pisahkan oleh pulau Mursala dengan keindahan air terjunnya konon sebagai studio alam shooting film King Kong dan pulau Poncan yang sebagai markas VOC Hindia Belanda saat zaman kolonial. Waduh dari home base-ku di Bandar Lampung naik apa ya yang tercepat?


Segala macam cara aku lakukan untuk membuat batin istri dan anakku untuk tegar, ku-browsing segala berita dan foto tentang Gunung Sitoli, maklum baru setahun dilanda gempa dan sebagian tsunami. Bagiku ini adalah “tour of duty” yang sangat menantang, memang pada realitanya semua yang terjadi tidak seindah yang kita rencanakan dan tak seburuk yang kita bayangkan.


Setelah menempuh 40 jam perjalanan via bandara Cengkareng, Jakarta menuju bandara Polonia, kota Medan dengan Lion Air (Boeing) kemudian ke bandara Binaka kota Gunungsitoli dengan pesawat Merpati (CN-235). Aku telah resmi dilantik sebagai kepala seksi di kantor yang serba darurat karena bangunan lama telah hancur oleh gempa dan satu stafku yang mangkir sampai akhirnya diberhentikan karena melanggar disiplin.


Enam bulan awal memang merupakan ujian terberat bagiku, karena bagaikan hidup di negeri yang serba asing dari segi bahasa, budaya, makanan dan yang terpenting alamnya yang kental dengan badai dan gempa. 

Dibenakku hanya terpikir untuk mencari jalan tercepat untuk pindah, Agustus 2007 aku pernah mencoba untuk mengikuti ujian bea siswa S2 (Magister Ekonomi) di salah satu Universitas ternama, kebetulan ada tawaran dari Kantor Pusat. Yah namanya belum rejeki karena nggak dapat jatah walaupun memenuhi syarat aku nggak bisa kuliah dan kalau aku berminat agar biaya sendiri (masih kuingat dengan jelas suara pihak Universitas menelponku pada hari Jum’at jam 9 pagi). 

Tapi nggak jadi soal aku ikhlas kok, setelah aku renungkan tujuanku kan sudah tercapai karena aku sudah dinyatakan memenuhi syarat, mungkin aku harus lulus test untuk memperoleh MLB (Master Lompat Batu) dulu di Bawomataluo, he he.


Mei 2008 aku berkesempatan ikut Diklatpim IV selama 6 minggu di kota Magelang, mulai dari mengikuti out bond dan memperoleh materi yang sebagian baru buatku yang sempat mengenyam kuliah di jurusan manajemen penilaian properti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada. 

Melalui materi kecerdasan yang dimiliki setiap manusia, mengenalkan aku dengan proses kesuksesan seseorang untuk menjadi seorang Manager yang handal sampai akhirnya sebagai seorang Leader yang bijaksana. 

Maka terjawablah sudah kegalauanku selama ini dalam menghadapi proses kehidupan yang setiap manusia wajib melaluinya, ku ucapkan puji syukur kepada Allah SWT yang selalu melindungiku dan telah menunjukan jalan sehingga aku masih melangkah melalui rel yang jelas.


Kecerdasan Intelektual (hard skill) prestasi akademik yang kita peroleh dari bangku Sekolah Dasar tahun 1988 Panca Arga 1 Letjen S. Parman Magelang (NEM 45,10), SMPN 1 tahun 1991 kota Magelang Rantai Kentjana (NEM 48), SMAN 1 tahun 1994 kota Magelang Gladiool (NEM 54), Program Diploma III tahun 1997 Penilai PBB kerja sama dengan ITM Malaysia (IPK 3,05), Sarjana Ekonomi tahun 2002 Manajemen Penilaian Properti FEB Universitas Gadjah Mada (IPK 3,11)
 sampai dengan Magister Manajemen tahun 2015 konsentrasi Manajemen Pemerintahan dan Keuangan Daerah FEB Universitas Lampung (IPK 3,93) ternyata masih jauh dari cukup karena baru memberikan porsi 25% saja. 

Kita masih perlu untuk memperdalamnya dengan kecerdasan Emosional (soft skill) yang berperan 50%, yang secara alamiah akan menimbulkan gaya kepemimpinan kita yang lebih spesifik sebagai seni untuk mengatasi kesulitan dalam bergaul, berinteraksi, mengembangkan diri dan berprilaku dalam menyelesaikan pekerjaan.


Kemudian kecerdasan Spiritual melengkapi 15% yang secara kodrati akan selalu mengingatkan kita untuk bekerja semata-mata untuk mendapat ridha Allah SWT, karena Sang Khalik akan sangat membenci hambanya yang berbuat melampaui batas dalam hal apapun. 

Sebagai 10% pelengkap puncak kesuksesan adalah kecerdasan Adversitas yang berhubungan dengan lamanya seseorang terlarut dalam suasana hati yang tidak menentu. Makin tinggi kesediaan dan mental seseorang untuk bertanggung jawab atas kegagalan atau kesulitan yang menghadang, sekalipun tidak berhubungan dengan masalah yang sedang dihadapi, makin tinggi usaha yang dilakukan untuk mengatasi kendala tersebut.


Akhirnya dua puluh bulan sudah aku jalani tugas di Gunungsitoli, sensor syaraf reflekku sudah sangat terlatih jika ada gempa. Travelling menjadi hobby baruku, di manapun ada tempat wisata yang menarik aku tak pernah absen mengabadikan melalui jepretan kamera mungilku. 

Empat daerah di ujung mata angin pulau Nias sudah aku kunjungi (mencari batu akik di sungai Muzoi-ke gua Togindrawa-menikmati ikan kerapu nanas bakar di dekat pantai Carlita-Tuhemberua-Lahewa, Mandrehe-Ulu Moro'o, mandi air panas di pemandian Mbombo Aukhu Idano Gawo-Bawolato-Sorake-Teluk Dalam-makan udang kipas di Lahusa- lompat batu di Bawomataluwo). 


Bahkan naik pesawat SMAC (jenis Casa) ke Padang via pulau Telo pernah aku coba dua kali, sangat indah pemandangan pulau-pulau Batu, pulau Tanabala dengan koralnya dan sebagaian kepulauan Mentawai kalau dilihat dari atas, Ya’ahowu Feifu. Candaan teman mengartikan SMAC = Siap Mati Atau Cacat, tidak lupa telinga aku tutup dengan gabus filter rokok untuk mengurangi suara bisingnya mesin baling baling pesawat.

Perjalanan pulang dari Gunungsitoli ke Bandar Lampung yang takkan pernah aku lupakan ketika menjelang lebaran Idul Fitri. Jam 14.00 aku menumpang kapal cepat dari pelabuhan kota Gunungsitoli ke pelabuhan kota Sibolga (negeri berbilang kaum) tiba jam 18.00, setelah makan sebentar di warung makan, perjalanan di lanjutkan jam 19.00 dengan travel Simpati mobil L-300 menuju ke bandara Minangkabau Padang menempuh perjalanan 15 jam istirahat 3 kali di kedai nasi goreng di kota Penyabungan, rumah makan menu spesial rendang kerbau kacang merah di Rao dan resto nasi Kapau di kota Bukit Tinggi. 


Jam 10.00 pagi kami tiba di Bandara Minangkabau menemui kenalan kami yang sudah menyiapkan tiket Padang ke Jakarta Rp 465 ribu maskapai Sriwijaya Air jam 14.00 WIB. Waktu 3 jam aku manfaatkan sebaik baiknya, mandi membersihkan badan setelah perjalanan 19 jam berlayar di samudera Andaman sejauh 150 km dan darat sejauh 480 km menyusuri lereng pegunungan bukit barisan dengan kelok 44 (ampek-ampek).

Jam 14.30 terbang via Sriwijaya Air tiba di bandara internasional Soekarno Hatta Cengkareng jam 17.00 lanjut bus bandara ke stasiun Gambir untuk naik bus DAMRI jurusan Bandar Lampung jam 22.00. setelah 2 jam melanjutkan tidur di pesawat tadi sampailah aku di pelabuhan merak Banten. Setelah bus DAMRI masuk kapal semua penumpang diharuskan naik ke anjungan kapal Ferry. Saat terbangun baru terasa capek dan sakitnya luar biasa tulang ekorku. Alhamdulillah subuh sudah sampai di rumah dengan total keluar ongkos Rp 900 ribu berangkat via laut, darat dan udara dengan kelelahan luar biasa.


Setelah mengikuti Diklat Sistem Administrasi Modern (SAM) tanggal Sembilan September 2008 di Hotel Niagara Danau Toba secara resmi reformasi birokrasi mulai diberlakukan di wilayah kami, kantorku sebelumnya di Gunungsitoli diretrukturisasi menjadi KP2KP dibawah kendali KPP Pratama Sibolga, tempatku baru untuk berkantor. Posisi sementara saat itu aku ditugaskan sebagai Kasi Ekstensifikasi Perpajakan. 


Selain masih menjalankan tugas pendataan (surveying) dan penilaian (appraisal) juga melakukan himbauan untuk ber-NPWP bagi yang penghasilannya di atas PTKP dan memiliki properti yang potensial, jadi aku mesti harus belajar dan terus belajar agar bisa mengikuti peraturan dan transformasi proses bisnis yang cepat berkembang, dengan berpedoman urjab dan SOP (Standard Operating Procedure). Aku selalu berusaha menerapkan kode etik secara adil kepada staf bawahanku yang sebagian berumur jauh lebih tua, Horas.


Empat bulan berkantor di Sibolga dengan renumerasi setengah modern tidak membuat semangatku lemah dalam bekerja, paling tidak biaya sosialku saat ini semakin rendah dibandingkan dengan tempat tugasku sebelumnya. Tepat 31 Desember 2008 aku pindah tugas lagi ke kantor wilayah di kota Pematang Siantar, walaupun belum mendekati home base paling tidak aku sudah menerima renumerasi penuh sebagaimana rekan-rekanku yang telah menikmati lebih dahulu dan semakin mudah untuk pulang dengan tiga jam perjalanan menuju Medan,


Setelah kurenungi kembali dalam delapan bulan ini berada dalam ikatan modernisasi DJP, suasana bekerja saat ini jauh lebih nyaman dan pasti, sehingga tidak ragu lagi aku untuk:
  1. Terbiasa disiplin hadir tepat waktu dan menerima konsekuensi jika melanggar;
  2. Mengatakan tidak, di saat kolega maupun wajib pajak merayuku untuk melanggar kode etik;
  3. Berargumentasi dan mengusulkan pendapat kepada kolega dan atasan;
  4. Menegur bawahan jika tidak disiplin alias mangkir;
  5. Memerintah bawahan untuk bersama-sama menyelesaikan pekerjaan lebih cepat tanpa menunda lagi;
  6. Mengeluarkan ongkos pulang ke rumah dan memenuhi kebutuhan ekonomi sudah cukup dari renumerasi yang aku terima setiap bulannya.

Aku berharap dan selalu mendoakan agar seluruh birokrat di negeri Indonesia tercinta ini secepatnya dapat menikmati reformasi birokrasi tanpa terkecuali secara proporsional di seluruh lapisan jabatan, Kuncinya asalkan kita bersedia memulainya dari diri kita sendiri, di saat sekarang, untuk hal-hal yang terkecil dalam pekerjaan.

Kisah ku selama 18 bulan di pulau Nias silahkan klik:

https://kigedemenoreh.blogspot.com/2008/12/yaahowu-belajar-jadi-pejabat-di-tano.html?m=1

https://kigedemenoreh.blogspot.com/2008/12/akhirnya-modernisasi-juga-di-negeri.html?m=1

Kisah ku selama 4 bulan di kota Sibolga silahkan klik:

https://kigedemenoreh.blogspot.com/2009/02/710-anak-tangga-di-lobu-tua-fansuria.html?m=1

https://kigedemenoreh.blogspot.com/2021/08/berbagi-kisah-dan-harapan-perjalanan.html?m=1


Minggu, 01 Maret 2009

FANSURIA EMPIRE (PAPAN TINGGI VIA 710 ANAK TANGGA) DAN MELEWATI BATU LOBANG DENGAN 379 TIKUNGAN



https://m.semedan.com/2017/12/ziarah-ke-44-makam-aulia-barus-tapanuli-tengah.html

Di penghujung tahun 2008 cuti bersama cukup panjang, sebagian rekan kerja pulang ke home base, maklum dekat, paling setengah hari juga sudah sampai. Aku dan dua anak muda (Pak Dhe Slamet dan Mamang Kito Mawardi) berencana menyambut tahun 2009 di base camp saja, Wisma Pajak Aso-aso, sambil pasrah menanti mutasi bakal pindah entah ke mana.

Tepat tanggal 31 Desember mutasi keluar, alhamdulillah, aku pindah ke kota Pematang Siantar (2,5 jam dari Medan, paling tidak semakin mudah pulang ke Bandar Lampung) sedangkan kedua sohib pulang ke kampoeng halaman di Menggala Tulangbawang dan Bojonegoro, tak disangka justru kami bertiga yang harus meninggalkan Sibolga.

Di malam pergantian tahun untuk pertama dan terakhir kalinya aku menikmati indahnya pesta kembang api di langit lapangan Simare-mare. Pagi harinya, lewat ide dadakan, kita berwisata ke Barus atau Fansuria nama kunonya.

Selama 3 jam kami menyusuri pesisir barat Sumatera melalui pantai Binasi-Sorkam-Sosorgadong, yang sangat indah dengan pasir putih, pohon cemara dan rumput yang tumbuh rapi seperti padang golf, serta ternak kerbau yang bebas digembalakan.


Aku suka menyantap sup daging kerbau dan ikan sale kas Mandailing di rumah makan Muzdalifah Jl SM Raja Sibolga, sangat nikmat selagi panas dan pas banget jika badan kita lagi kurang fit untuk mengembalikan stamina.

Menu favoritku lainnya adalah kerang bulu rebus asli Tanjung Balai dengan sambal nanas+sate dan jus wortel dicampur jeruk, lokasi kedai di Sibolga Square saat malam. Untuk sarapan kedai favoritku di Buffet di seberang kantor provost. Teh susu dan sate padang plus serta hidangan beragam variasi kue apem dan jajanan.


Oh ya lanjut ke pejalanan Ki Gede, di pantai Barus kami istirahat makan siang, setelah memilih ikan yang masih fresh dari nelayan, pemilik kedai menyiapkan tempurung kelapa untuk memanggang. Sambalnya khas Tapanuli, rasa pedasnya dan terasa nendang, luar biasa ajibnya.

Siap makan siang kami mengelilingi kota tertua di pesisir barat Sumatera, yang sudah dikenal raja Fir'aun sebab kapur barusnya untuk bahan pengawet Mummy. Legenda putri Runduk yang berkaitan wangsa Sanjaya dan raja Sudan, juga terkenal di Barus, seorang putri yang kecantikannya tidak kalah dengan Miss Universe saat ini harus berakhir tragis tenggelam di laut dekat pulau Mursala, pulau kecil yang super unik karena ada air terjun setinggi 100 m di sebelah Utara, akan tampak terlihat saat kita naik jumbo jet ke Gunungsitoli di siang hari.

Di Barus dimakamkan 43 aulia yang disebut makam Mahligai juga seorang ketua dan sultan bagi kerajaan islam Negeri Barus mandailing di pantai barat Sumatera Utara, yaitu Syeikh Al-Alam Almuchtazam Syeikh Machmud Qadasjahlahu Rohanu Alamatarach al Yamini, wafat tahun 44 Hijriah, letak makam itu berada di atas bukit yang tingginya lebih kurang 200 meter dari permukaan laut (makam Papan Tinggi).


Tidak mudah untuk mencapai ke lokasi makam ini. Sebelum kita bermaksud untuk berziarah, di kaki bukit tersebut terdapat pancuran air untuk membersihkan diri atau mengambil air wudhuk. Setelah itu, kita menaiki tangga yang sudah terbuat secara permanen (kata penduduk sana yang membangun wapres Adam Malik tahun 1972).

Sebanyak 710 anak tangga atau lebih kurang 145 meter (setara gedung 50 lantai), yang harus dilewati agar kita bisa sampai di puncak Gunung Papan Tinggi tempat makam tersebut berada. Untuk itu diperlukan niat yang iklas untuk mengunjungi makam ini, agar bisa mencapai puncak gunung tersebut.


Disamping itu kekuatan fisik harus benar-benar mantap serta tehnik khusus untuk menaiki tangga tersebut sangat diperlukan karena tangga-tangga tersebut sangat curam dan menanjak sekali. Cocok benar untuk menurunkan berat badan ki Gede (110 kg). Untuk sampai di puncak, ki Gede perlu waktu 1 jam dengan 7 kali istirahat dan minum setengah liter air Aqua, kalau pulangnya cukup 15 menit sudah sampai, dengan setia abang Coi asli Meulaboh selalu mendampingi, khawatir aku pingsan katanya.

Ki Gede jadi teringat kisah 6 bulan lalu, saat diajak 4 rekan traveller (Wak Kaji Priyo dari Blitar, Uda mas Heri dari Bantaeng, Abang Kito Agus dari Ternate dan Mas Mbambang dari Halim Perdanakusumah) ke gunung Muria yang diantar oleh kenalan dari masjid Kudus, namanya pak Siswanto seorang petani asal Jepara.

Mulai 12 Januari 2009, aku ngantor di Pematang Siantar, menurut Wikipedia 750 tahun lalu terkait dengan kisah raja Indrawarman wakil komandan ekspedisi Pamalayu yang dipimpin Mahesa Anabrang pada masa berakhirnya kerajaan Singhasari di bawah Maharaja Kertanegara yang masih keturunan Ken Angrok.


Kotanya ramai serasa pulang ke Bandar Lampung dan udaranya sejuk serasa di Magelang, rasanya kurang lengkap jika belum sarapan pagi dengan nasi gurih atau bihun ikan di kedai kopi massa Kok Tong di Jalan Wahidin.

Selamat tinggal batu lobang, 379 kelokan Sibolga-Agian Koting-Tarutung, pemandian air panas Sipoholon dan Sipitu-pitu. Perjalanan panjang yang tak akan aku lupakan, kapan-kapan aku pasti lewat lagi kalau harus bertugas ke Sibolga.