Hati ki Gembul turut berkabung ketika mencermati pembicaraan yang kurang sedap di semua kalangan penduduk negeri dari warung kopi sampai dunia maya.
Betapa tidak, ketika negerinya sedang membenahi dan menghimpun segala daya upaya agar rakyatnya hidup mandiri bersaing sehat dengan negeri jiran lainnya yang telah lebih dahulu makmur dengan kehidupan para priyayinya yang modern dan beretika dalam berbagai sendi sehingga para saudagar dan rakyat patuh dan tidak berani melanggar pranatan negeri.
Berita di triwulan pertama tahun macan logam diramaikan musibah dahsyat kembali terjadi, didalangi para priyayi yang mbalelo karena hasrat untuk kenikmatan duniawi, ulah komplotan Gayeng Terus (GT) yang deteren efeknya membuat para Priyagung terkesima dan murka. Padahal sebagai calon Bekel, hidup GT sudah dijamin lebih berkecukupan dibandingkan orang kebanyakan.
Investasi yang tidak sedikit sudah dikeluarkan untuk mendidik GT hingga memiliki ilmu yang sangat mumpuni dan ngedap-edapi, lha kok sekarang tumindak culikonya bikin nggilani dan nggegirisi sehingga tega mengkhianati 40.000 alumninya.
Gayeng Terus yang nota bene junior 4 warsa darinya tapi pundi-pundi harta yang dimiliki melimpah ruah melebihi Kanjeng Adipati manapun. Apa mungkin Gayeng Terus sudah berubah jadi Dewata Cengkar yang sanggup mengunyah mentah-mentah atau ternak tuyul di kediamannya ya?
Ki Gembul jadi teringat peristiwa 3,5 warsa silam sowan ke Telogosarangan, Argo Lawu, ketika itu Eyang Imam berpesan sedih melalui ki Ajar Hadi: “Walah kok Gembul mau-maunya dijadikan tumbal?”
Laksana disambar petir di siang bolong, tersayat pedih hati ki Gembul ketika sebulan kemudian saat 1 Suro isyarat menjadi terang, jika ternyata keris pusakanya telah disalahgunakan oleh permufakatan jahat Suro Bendhol (dirayu agar mau membeli Sedan Timor baru direyen miliknya dengan harga Rp 15 juta dan bayarnya kapan saja boleh, karena ditolak dengan halus oleh Ki Gembul dengan jawaban "terima kasih bahwa beberapa saat lagi dia sudah dapat fasilitas mobil plat merah").
Beruntung keris pusaka Panuntun dan Cemeti Surken (warisan Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwa Bhumi dari ksatrian Sekaran, Singhasari) masih bisa dia selamatkan. Sehingga Suro Bendhol berujar "kalau di atas langit pasti ada langit, tapi dia lupa kalau berkat kesabaran (ilmu Nyebar Godong Koro dan ajian Pancasona) Ki Gembul maka langitnya jauh lebih tinggi dari Suro Bendhol". Terbukti 17 tahun kemudian Suro Bendhol "Ngunduh Wohing Pakarti sebab perilakunya Nggege Mongso".
Hanya satu permintaan dari qalbu ki Gembul melalui sohibnya kepada Yang Maha Kuasa, agar diijabah dan diriyadloh hati dan jiwanya untuk ikhlas dan sabar sehingga selamat dunia wal akhirat sampai akhir hayat. Dibuang jauh-jauh rasa amarah dan dendam, bagaimanapun itu semua sudah terjadi dan tak mungkin untuk dirubah kembali.
Baginya hanyalah satu prinsip, jika musibah itu adalah cobaan semoga segera diberikan petunjuk dan kelak akan diperoleh hikmahnya dan jika musibah itu merupakan azhab semoga akan selalu diampuni dosanya.
Tak berselang lama ki Gembul diberi amanah untuk menjabat Bekel di wilayah nusa perbatasan terluar di bang lor kulon tengah samudera Andaman dengan kondisi kehidupannya serba darurat setelah satu warsa dilanda bencana Lindu (gempa bumi) seluas 80 km x 200 km harus berlayar 150 km dari pelabuhan Fansuria Nusa Swarnabhumi.
Walaupun sebagai seorang Bekel/ Lurah Parjurit, fasilitas yang didapat sangatlah minim apalagi ditambah anggotanya mengalami demotivasi akibat tak sanggup menghadapi seleksi alam sampai akhirnya desersi. Tapi Ki Gembul selalu bersemangat dengan tidak takut, tidak malu dan tidak malas agar suatu saat kelak bisa menduduki posisi sebagaimana Sang Banteng Mataram (Joko Umbaran/ Pangeran Purbaya) tokoh leluhur idolanya.
Di tataran Banua justru ki Gembul memperoleh nikmat ketenangan jiwa yang luar biasa, tak ada lagi godaan jin/ gadarwa maupun Denawa yang ujung-ujungnya untuk sesajen setan karena selalu dikawal Sang Hyang Naga Pertala guru Sang Prabu Angling Darma. Diperoleh pelajaran adversitas yang sangat berharga dengan merasakan proses kehidupan sebagai perjuangan suci yang sangat berat untuk dapat mengendalikan dan mengekang segala nafsu yang ada pada dirinya.
Dalam hatinya selalu diingatkan jika pujian sesaat hanya akan membuat dirinya terlena, jika ia sukses menjalankan jejibahan pasti ada yang iri dan dengki, tetapi apabila gagal hanya kebencian dan caci maka yang diperoleh bagaikan tumpahan lahar dari kubangan kawah Candradimuka.
Tahun kemarin setelah 3 warsa tidak berjumpa, ki Gembul mengunjungi sahabatnya ki Atmo, mereka terhanyut dalam pembicaraan remunerasi. Karena mulai September 2008 telah resmi 32.000 laskar Cakti Budhi Bhakti tanpa terkecuali telah berikrar dalam naungan reformasi birokrasi setelah ditest Inner Viewnya dan dibekali paket Change Management, menyusul sebagian priyayi yang lebih dahulu menikmati remunerasi angkatan 2002 dan angkatan 2005.
Menurut pemahaman ki Gembul, wujudnya sama dengan konsep KAIZEN di swasta dan menggunakan tolok ukur model Al-Gore: "smaller and smarter government, but stronger regulations". Jadi empat pilar harus dibenahi secara berkelanjutan yaitu Standar Operating Procedure (SOP), Remunerasi dan Kompetensi Sumber Daya Aparatur, sarana Teknologi Informasinya dan sarana Infrastruktur. Akan tidak logis jika rumah makan yang sedang direnovasi dituntut untuk memperoleh keuntungan yang maksimal, apalagi ada beberapa ekor tikus nyasar yang belum tertangkap Mental Detektor.
Ditawarinya ki Gembul untuk membeli mobil Xenia second milik ki Atmo bahkan dileasing juga boleh, tetapi dengan halus dijelaskan oleh ki Gembul jika remunerasi yang diterimanya memang besar tetapi dia harus memperketat portofolio pengeluaran untuk angsuran kredit rumah, asuransi kesehatan dan pendidikan anak, belum untuk ongkos mudik dan kebutuhan dua dapur yang lumayan besar.
Jadi diperhitungkan sama dengan take home pay ki Atmo apalagi bisa setiap hari bersama keluarga, sedangkan ki Gembul dengan 12 hari jatah cuti dalam setahun paling cepat 40 hari baru bisa bersama anak istri, maklum jauh jika ditempuh jalan darat bisa sampai lebih dari 40 jam melalui darat, laut dan udara.
Sebelum dijalankan reformasi birokrasi diprediksi para abdi akan terpetakan dalam 4 level golongan/level:
Level pertama yaitu abdi yang benar-benar bersih dan tidak mau melakukan apapun yang dia yakini tidak benar. Tetapi karena sering berseberangan dengan arus, sebagian dari mereka banyak yang terpinggirkan, lambat berkarier dan kurang termotivasi alias pasrah.
Level kedua adalah para abdi yang terpaksa berbuat dan hanya bersifat ikut-ikutan untuk memperoleh penghasilan yang sepadan dengan tugasnya karena sistem kerja tidak mendukung, sehingga terkesan “Pinter Goblok Sami Mawon”. Rasa tidak puas karena disingkirkan oleh rasa saling iri yang sangat menonjol, karena ejekan “Buat apa berilmu tinggi jika kalah kaya dengan yang tidak mengenyam sekolahan”. Tapi golongan yang paling mayoritas ini akan sadar secara total setelah direformasi dengan dibekali Profesionalisme, Integritas, Team Work dan Inovasi dalam ikatan kode etik.
Level ketiga atau abu-abu muncul pada abdi yang memiliki jabatan dan posisi strategis yang rawan dengan rayuan mas inten rajabrana dan godaan gratis-fikasi bahkan diiming-imingi selusin bidadari persembahan Bethoro Kolo. Sekeras-kerasnya batu jika terkena tetesan air ribuan kali pasti akan berlubang, maka jika air comberan yang menetes jadilah mereka golongan mbalelo yang hoby MaLiMa. Tetapi apabila air embun jernih yang menetes maka semua durjana sekaliber Dewata Cengkar dan Rahwana akan mati langkah tak berkutik untuk berbuat angkara murka. Abdi tersebut walaupun ada peluang tidak mau hidup neko-neko cukup pada batas sewajarnya.
Level terakhir dan tidak mungkin dibenahi mentalnya adalah abdi yang menganut aliran MaLiMa. Gaya hidupnya menyimpang ekstrim karena berperilaku Maling, Madat, Madhon, Main dan Mabok. Dari masa ke masa mereka akan lenyap karena seleksi alam, sebagian yang hidup mengalami gangguan mental untuk menunggu diapkir atau melarikan diri.
Ki Gembul selalu mengingat nasehat eyang canggahnya Eyang Condrokusumo trah Sri Aji Jayabhaya dari Pegunungan Menoreh, bangga dengan leluhur beliau yang sangat mencintai negeri gemah ripah loh jinawi yang terkenal titi tentrem kerto raharjo oleh negeri manca. Tetapi sayang, kehidupan rakyatnya yang sebagian masih ada yang menganggur dan kelaparan; yang sebagian masih sangat berhak untuk memperoleh kecerdasan dalam berpikir dan kecerdasan dalam berperilaku; yang sebagian masih membutuhkan pencerahan etika budi pekerti sebagai priyayi serta yang sebagian masih berhak memperoleh jaminan dan pengayoman dalam berkehidupan sebagai bangsa yang terpandang.
Tidakkah kita semua harus berusaha belajar untuk bisa saling memaafkan sebab semua manusia pasti pernah bermasalah dan berbuat salah tetapi bukan berarti mereka disingkirkan karena kita juga masih sangat membutuhkan. Apabila azhab telah datang jadikan semua itu sebagai pelajaran untuk generasi penerus agar semakin arif dan bijaksana dalam segala tindakan yang diyakini benar.
Alangkah indahnya jika yang pernah bermasalah dan berbuat salah memohon pengampunan dan semoga Kanjeng Sinuwun memberikan pengampunan dengan syarat semua abdi negeri yang telah berikrar dalam etika budi pekerti untuk menjadi priyayi yang mengedepankan Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani yang selalu waspada dan teliti melalui reformasi birokrasi; secara ikhlas dan sukarela mengembalikan raja brana yang jumlahnya telah dianggap melampaui batas dan telah diakui bukan haknya, untuk kemudian diberikan kepada mereka yang berhak dan yang membutuhkan.
Malam semakin larut ki Gembul tidak sanggup lagi menahan kantuk, karena besok harus melakukan tugas kembali dan tak ingin terlambat absensi sidik jari sebagai abdi negeri yang tetap menjujung disiplin dan memotivasi rekan dan stafnya untuk selalu semangat menyongsong hari esok.
KANDURU WIRA SAPTA WINAYA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar