Entri yang Diunggulkan

ONCE UPON A TIME IN CHINA (BEIJING & SHANGHAI) INTERNASIONAL FIELD STUDY MAGISTER MANAJEMEN - FEB UNIVERSITAS LAMPUNG

Di Kota Shanghai terdapat beberapa universitas yang cukup populer, antara lain: Shanghai Jiao Tong University; Shanghai Normal University; S...

Kamis, 28 Februari 2013

GORESAN RON TAL KI GEMBUL: SALAM, SAPA, SOWAN, SUNGKEM DAN SANTUN




"S” adalah huruf yang sangat menarik, apabila dirangkai dengan huruf lainnya akan berarti kata-kata untuk memuliakan atau memberikan makna positif atas sesuatu, contohnya: Super, Su- (untuk awalan nama orang Jawa yang berarti lebih). Tapi jika dirangkai dengan huruf tertentu akan bermakna negatif atau membuat kuping panas, contohnya: Semprul, Sontoloyo, Selon atau Sialan.


Semboyan lima kata yang diawali dengan huruf S yaitu  “Salam, Sapa, Sowan, Sungkem dan Santun” yang pasti tidak asing lagi kita dengar dan apabila secara simultan kita terapkan secara bijaksana dalam kehidupan sehari-hari kepada stake holder kita maka akan terwujud “Memayu Hayuning Bawana, Memayu Hayuning Sasama dan Dados Juru Ladosing Bebrayan inkang Sae”, yang merupakan kearifan lokal yang hidup menjadi pedoman etika dan semboyan brayat ki Gembul (bagian dari “Ponco Laksito Tomo”).



SALAM berarti keselamatan yang selalu diucapkan mengawali (uluk salam) pada saat kita bertemu saudara, kerabat, sahabat dan tetangga untuk semakin mempererat tali silaturahmi, “Keselamatan buatmu berkat kesabaranmu”. 




SAPA merupakan perilaku kedua setelah salam mengawalinya, yang berarti menunjukan rasa empati kita kepada orang lain. Apa kabar?, Bagaimana keadaannya?, Anaknya sudah berapa?, merupakan kalimat yang menghangatkan suasana dengan lawan bicara kita. 




SOWAN berarti berkunjung yang sebenarnya tidak jauh berbeda dengan blusukan hanya derajat orang yang melakukannya saja yang membuat kedua kata itu menjadi berbeda. Bagi seorang priyayi dari jaman dulunya jika sedang dalam tugasnya untuk beramah tamah dengan wong cilik (njajah ndeso milang kori) akan memakai istilah blusukan, maklum lapangannya berupa daerah pedesaan yang kental dengan sawah dan perkebunan. Tetapi apabila para wong cilik yang ada di ndeso menghadap ke rumah priyayi atau yang seseorang yang lebih muda mengunjungi kerabatnya yang lebih tua (paman, pak dhe, atau eyang), kata sowan sangat enak didengar oleh sang tuan rumah.


SUNGKEM berarti ungkapan kita untuk menghaturkan maaf atas segala kesalahan yang diperbuat dengan sengaja maupun tidak disengaja kepada kedua orang tua atau kerabat yang dituakan pada saat peristiwa tertentu seperti saat lebaran maupun akan memulai prosesi pernikahan. 



SANTUN berarti ucapan yang disampaikan berpedoman pada etika kesopanan, untuk beberapa kalangan masyarakat tertentu etika berbicara atau tutur yang menunjukkan kesantunan dapat terlihat dari rangkaian kalimat yang diucapkan. Ada bahasa kromo inggil, kromo deso (madya) dan ngoko untuk sebagian besar masyarakat Jawa.  Pemilihan kata yang lebih sopan seperti “kowe” diganti dengan “sampeyan atau panjenganatau kata “Kamu” diganti dengan “Anda, Saudara, Bapak atau Ibu” akan menimbulkan penghargaan kepada lawan bicara.


Ki Gembul ingin membacakan goresan ron tal peristiwa setahun yang lalu, walaupun hanya singkat waktunya, tetapi makna yang dirasakan sangat luar biasa. Begini kisahnya, setelah lengkap Ki Gembul 5 tahun 3 bulan berkelana (lebih dari 1.000 km dari tempat tinggalnya) untuk menikmati lezatnya kerapu nanas bakar yang melimpah di muara pantai charlita di nusa Niha yang pada jaman kerajaan Mataram Medang Kamulan hanya bisa dijangkau oleh kapal Samudra Raksa.  


Juga untuk menyaksikan kebesaran negeri Fansuria yang telah berhubungan dagang dengan Fir’aun di Mesir dengan 700 anak tangganya di negeri berbilang kaum. Tak luput juga mengagumi luasnya sendang raksasa Toba yang begitu cantik rupawan. Terhidang holat dengan pucuk pakat bakar di daerah tak jauh dari Portibi, bergetarnya andaliman dalam olahan arsik ikan mas di lereng Gundaling, pedasnya belacan menemani olahan sea food di Pagurawan dan kehangatan kopi arabika  di Parapat.


Maka kini ia berkelana di negeri (100 km dari tempat tinggal), yang separuh di utara merupakan wilayah keratuan Dipuncak dan di selatan wilayah keratuan Pugung dengan dipisahkan oleh hutan Way Kambas di masa 500 tahun lalu. Satu bulan kemudian ki Gembul memperoleh mimpi bertemu dengan ki Basar, uwaknya yang sudah 20 tahun tidak berjumpa.



Tersirat beliau memberikan sepasang tombak pendek berbatang besi berhulu golok petak setajam silet dan sebilah keris berluk sebelas yang bernama “Alugoro” (pusaka pamungkas milik Prabu Baladewa kakanda Sri Kresna titisan Bhatara Whisnu dalam pewayangan). “Ah mimpi tadi pasti bunga tidur, tetapi kenapa begitu jelas wajah beliau duduk bersama saudara-saudaraku, apakah ini sebuah ilafat …. gumam ki Gembul dalam hati”.

Enam bulan kemudian ketika sowan kepada ki dan nyi Cokro di lereng Menoreh, kedua orang tua ki Gembul, ia menyempatkan diri sowan kepada ki Basar di Limbangan melalui jalan yang berliku sejauh lebih dari 100 km diantara ngarai dan lembah gunung Sumbing dan Sindoro. Ternyata sangat tepat ki Gembul mengidolakan uwaknya yang dari kecil selalu diceritakan oleh ibundanya sebagai sosok yang gigih berjuang melawan Belanda dan sangat perhatian kepada kakak dan adiknya. Di usia yang sudah berkepala sembilan, pada wajah beliau masih terpancar kegagahan dan ketampanan sebagaimana dua puluh tahun lalu ketika beliau hanya sejenak menghaturkan sungkem kepada ibundanya yang sudah sangat renta puteri kesayangan eyang Joyo putri (buyut ki Gembul), yang dimasa sehatnya selalu merindukan kakanda satu-satunya yaitu eyang Harjosunajib yang telah berkelana ke Batu Dulang negeri Borneo pada tahun lima puluhan dan tak pernah kembali untuk selamanya.


Ki Basar adalah seorang veteran pejuang bangsa dengan sosok yang sangat bersahaja dengan memilih tinggal di rumah sederhana, pada di dindingnya terpajang lukisan sang Proklamator secara utuh dan sangat indah, padahal sahabat setianya ada yang menjadi senopati natasangin. Beliau bercerita saat itu berkelana menyingkir dari Menoreh karena selalu menjadi incaran utama Belanda yang tidak pernah berhasil menangkapnya, padahal saat itu istri beliau sedang hamil tua. Ketika sampai di Limbangan, beliau menjadi sahabat Sinder perkebunan dan tidak pernah gentar menghadapi para begal yang sangat tidak santun dan menindas rakyat dan priyayi saat malam telah tiba. Ketika situasi negara sudah tenang, kakanda senopati natasangin membantu menguruskan hak beliau sebagai seorang veteran pejuang bangsa.

Melalui tutur ki Basar diberitahukan bahwa  eyang canggah ki Gembul bernama mbah kaji Hasyim yang juga dikenal sebagai mbah kaji Wagean (karena dimakamkan di daerah Wagean, lereng Menoreh). Dari hitungan usianya,  kemungkinan beliau terlahir dan dibesarkan tidak jauh dari markas terakhir Pangeran Diponegoro di Gedongan. 




Makanya logis menurut pemikiran ki Gembul, yang tidak pernah mengenyam kearifan lokal desanya, memperoleh informasi dari ki Yamto bahwa ketika empat tahun yang lalu saat eyang putrinya wafat entah tak terhitung banyaknya tamu yang dating dari empat desa untuk bertakziah. 












Mereka menjelaskan bahwa masa itu tali silaturahmi mulai mengendur karena sepeninggal eyang Sahrun, eyang putrinya menikah dengan eyang Ranu pamanda ki Cokro yang aktif nguri-uri budaya jawa baik jathilan maupun tarian keprajuritan mataram kubra siswo atau ndayakan. 




Maklum selama delapan belas tahun ki Gembul dibesarkan ki Cokro dalam lingkungan keluarga serdadu penjaga kawah Condrodimuko prajurit nusantara. Sungguh ki Basar sangat bermurah hati dan prihatin dengan kondisi badan keponakannya yang semakin gembul, dan beliau memohon doa kepada Allah, SWT agar masa ki gembul menjadi “joko kendil” segera berakhir dan kembali seperti sedia kala, maksudnya bukan menjadi naga baru klinthing lho.