"S” adalah
huruf yang sangat menarik, apabila dirangkai dengan huruf lainnya akan berarti
kata-kata untuk memuliakan atau memberikan makna positif atas sesuatu,
contohnya: Super, Su- (untuk awalan nama orang Jawa yang berarti lebih). Tapi
jika dirangkai dengan huruf tertentu akan bermakna negatif atau membuat kuping
panas, contohnya: Semprul, Sontoloyo, Selon atau Sialan.
Semboyan
lima kata yang diawali dengan huruf “S” yaitu “Salam, Sapa, Sowan, Sungkem dan Santun” yang
pasti tidak asing lagi kita dengar
dan apabila secara simultan kita terapkan secara bijaksana dalam kehidupan sehari-hari kepada stake holder kita maka akan terwujud “Memayu Hayuning Bawana, Memayu Hayuning
Sasama dan Dados Juru Ladosing Bebrayan
inkang Sae”, yang merupakan kearifan lokal yang hidup menjadi pedoman etika
dan semboyan brayat ki Gembul (bagian dari “Ponco
Laksito Tomo”).
SALAM berarti
keselamatan yang selalu diucapkan mengawali (uluk salam) pada saat kita bertemu saudara, kerabat,
sahabat dan tetangga untuk semakin mempererat tali silaturahmi, “Keselamatan buatmu berkat kesabaranmu”.
SAPA merupakan perilaku kedua setelah
salam mengawalinya, yang berarti menunjukan rasa empati kita kepada orang lain.
Apa kabar?, Bagaimana keadaannya?, Anaknya sudah berapa?, merupakan kalimat
yang menghangatkan suasana dengan lawan bicara kita.
SOWAN berarti
berkunjung yang sebenarnya tidak jauh berbeda dengan blusukan hanya derajat
orang yang melakukannya saja yang membuat kedua kata itu menjadi berbeda. Bagi
seorang priyayi dari jaman dulunya jika sedang dalam tugasnya untuk beramah
tamah dengan wong cilik (njajah ndeso
milang kori) akan memakai istilah blusukan, maklum lapangannya berupa
daerah pedesaan yang kental dengan sawah dan perkebunan. Tetapi apabila para wong cilik yang ada di ndeso menghadap ke
rumah priyayi atau yang seseorang yang lebih muda mengunjungi kerabatnya yang lebih tua
(paman, pak dhe, atau eyang), kata sowan sangat enak didengar oleh sang tuan rumah.
SUNGKEM berarti
ungkapan kita untuk menghaturkan maaf atas segala kesalahan yang diperbuat dengan sengaja maupun tidak
disengaja kepada kedua orang tua atau kerabat yang dituakan pada saat peristiwa
tertentu seperti saat lebaran maupun akan memulai prosesi pernikahan.
SANTUN berarti ucapan yang disampaikan
berpedoman pada etika kesopanan, untuk beberapa kalangan masyarakat tertentu
etika berbicara atau tutur yang menunjukkan kesantunan dapat terlihat dari rangkaian
kalimat yang diucapkan. Ada bahasa kromo inggil, kromo deso (madya) dan ngoko untuk sebagian besar masyarakat
Jawa. Pemilihan kata yang lebih sopan
seperti “kowe” diganti dengan “sampeyan atau panjengan” atau kata “Kamu” diganti dengan “Anda, Saudara, Bapak atau Ibu” akan menimbulkan
penghargaan kepada lawan bicara.
Ki Gembul ingin membacakan goresan ron tal peristiwa setahun yang lalu, walaupun hanya singkat waktunya, tetapi
makna yang dirasakan sangat luar biasa. Begini kisahnya, setelah lengkap
Ki Gembul 5 tahun 3 bulan berkelana (lebih dari 1.000 km dari tempat tinggalnya)
untuk menikmati lezatnya kerapu nanas bakar yang melimpah di muara pantai
charlita di nusa Niha yang pada jaman kerajaan Mataram Medang Kamulan hanya
bisa dijangkau oleh kapal Samudra Raksa.
Juga
untuk menyaksikan kebesaran negeri Fansuria yang telah berhubungan dagang
dengan Fir’aun di Mesir dengan 700 anak tangganya di negeri berbilang kaum. Tak
luput juga mengagumi luasnya sendang raksasa Toba yang begitu cantik rupawan.
Terhidang holat dengan pucuk pakat bakar di daerah tak jauh dari Portibi, bergetarnya
andaliman dalam olahan arsik ikan mas di lereng Gundaling, pedasnya belacan menemani
olahan sea food di Pagurawan dan kehangatan
kopi arabika di Parapat.
Maka kini ia
berkelana di negeri (100 km dari tempat tinggal), yang separuh di utara
merupakan wilayah keratuan Dipuncak dan di selatan wilayah keratuan Pugung
dengan dipisahkan oleh hutan Way Kambas di masa 500 tahun lalu. Satu bulan
kemudian ki Gembul memperoleh mimpi bertemu dengan ki Basar, uwaknya yang sudah
20 tahun tidak berjumpa.
Tersirat beliau memberikan sepasang tombak pendek
berbatang besi berhulu golok petak setajam silet dan sebilah keris berluk
sebelas yang bernama “Alugoro”
(pusaka pamungkas milik Prabu Baladewa kakanda Sri Kresna titisan Bhatara Whisnu
dalam pewayangan). “Ah mimpi tadi pasti bunga tidur, tetapi kenapa begitu jelas
wajah beliau duduk bersama saudara-saudaraku, apakah ini sebuah ilafat …. gumam ki Gembul dalam hati”.
Enam bulan
kemudian ketika sowan kepada ki dan nyi Cokro di lereng Menoreh, kedua orang
tua ki Gembul, ia menyempatkan diri sowan kepada ki Basar di Limbangan melalui
jalan yang berliku sejauh lebih dari 100 km diantara ngarai dan lembah gunung
Sumbing dan Sindoro. Ternyata sangat tepat ki Gembul mengidolakan uwaknya yang
dari kecil selalu diceritakan oleh ibundanya sebagai sosok yang gigih berjuang
melawan Belanda dan sangat perhatian kepada kakak dan adiknya. Di usia yang
sudah berkepala sembilan, pada wajah beliau masih terpancar kegagahan dan
ketampanan sebagaimana dua puluh tahun lalu ketika beliau hanya sejenak
menghaturkan sungkem kepada ibundanya yang sudah sangat renta puteri kesayangan
eyang Joyo putri (buyut ki Gembul), yang dimasa sehatnya selalu merindukan
kakanda satu-satunya yaitu eyang Harjosunajib yang telah berkelana ke Batu Dulang
negeri Borneo pada tahun lima puluhan dan tak pernah kembali untuk selamanya.
Ki Basar
adalah seorang veteran pejuang bangsa dengan sosok yang sangat bersahaja dengan
memilih tinggal di rumah sederhana, pada di dindingnya terpajang lukisan sang
Proklamator secara utuh dan sangat indah, padahal sahabat setianya ada yang
menjadi senopati natasangin. Beliau bercerita saat itu berkelana menyingkir
dari Menoreh karena selalu menjadi incaran utama Belanda yang tidak pernah
berhasil menangkapnya, padahal saat itu istri beliau sedang hamil tua. Ketika
sampai di Limbangan, beliau menjadi sahabat Sinder perkebunan dan tidak pernah
gentar menghadapi para begal yang sangat tidak santun dan menindas rakyat dan
priyayi saat malam telah tiba. Ketika situasi negara sudah tenang, kakanda senopati
natasangin membantu menguruskan hak beliau sebagai seorang veteran pejuang
bangsa.
Melalui tutur ki
Basar diberitahukan bahwa eyang canggah ki
Gembul bernama mbah kaji Hasyim yang juga dikenal sebagai mbah kaji Wagean (karena
dimakamkan di daerah Wagean, lereng Menoreh). Dari hitungan usianya, kemungkinan beliau terlahir dan dibesarkan
tidak jauh dari markas terakhir Pangeran Diponegoro di Gedongan.
Makanya logis
menurut pemikiran ki Gembul, yang tidak pernah mengenyam kearifan lokal
desanya, memperoleh informasi dari ki Yamto bahwa ketika empat tahun yang lalu
saat eyang putrinya wafat entah tak terhitung banyaknya tamu yang dating dari
empat desa untuk bertakziah.
Mereka menjelaskan bahwa masa itu tali silaturahmi
mulai mengendur karena sepeninggal eyang Sahrun, eyang putrinya menikah dengan
eyang Ranu pamanda ki Cokro yang aktif nguri-uri budaya jawa baik jathilan
maupun tarian keprajuritan mataram kubra siswo atau ndayakan.
Maklum selama
delapan belas tahun ki Gembul dibesarkan ki Cokro dalam lingkungan keluarga serdadu
penjaga kawah Condrodimuko prajurit nusantara. Sungguh ki Basar sangat bermurah
hati dan prihatin dengan kondisi badan keponakannya yang semakin gembul, dan beliau
memohon doa kepada Allah, SWT agar masa ki gembul menjadi “joko kendil” segera berakhir dan kembali seperti sedia kala,
maksudnya bukan menjadi naga baru klinthing lho.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar