Entri yang Diunggulkan

ONCE UPON A TIME IN CHINA (BEIJING & SHANGHAI) INTERNASIONAL FIELD STUDY MAGISTER MANAJEMEN - FEB UNIVERSITAS LAMPUNG

Di Kota Shanghai terdapat beberapa universitas yang cukup populer, antara lain: Shanghai Jiao Tong University; Shanghai Normal University; S...

Minggu, 30 November 2008

MENOREH PLATEAU - BOROBUDUR, TERKENAL SEJAK SRI MAHARAJA DHARANINDRA SANG PRABU WIRAWAIRI MATHANA HINGGA BPH DIPONEGORO



 "Alam ora bisa dilawan, awu sing semebar iku sejatine berkah gusti kanggo njaga kesuburan bumi Jawa. Mulane ayo pada disyukuri wae."  (Alam tidak akan bisa dilawan, abu yang beterbangan adalah berkah dari Tuhan untuk menjaga kesuburan bumi Jawa. Untuk itu mari kita syukuri saja.)
 

Hallo, dalam blog ki Gede Menoreh ini tidak ada kaitannya dengan penguasa Tanah Perdikan (Tanah Merdeka) Bukit Menoreh yang legendaris di zaman Kesultanan Demak dan Pajang dan melalui kisah “Api di Bukit Menoreh” dengan Agung Sedayu-nya.



Kemudian kisah dalam “Cabolek” karya Ngabehi Yasadipura -pujangga Keraton Surakarta Abad ke-18 yang mengisahkan, Raden Mas (RM) Rangsang, Putra Mahkota Kerajaan Mataram Islam, menerima wangsit untuk menjadi penguasa tanah Jawa. 


RM Rangsang diharuskan berjalan kaki dari keraton di wilayah Kotagede, Kota Yogyakarta, ke arah barat.


Setelah menempuh jarak sekitar 40 kilometer dan tiba di wilayah Pegunungan Menoreh, ia jatuh pingsan karena kelelahan.


Wangsit kedua pun datang. RM Rangsang yang setelah dewasa dikenal sebagai Sultan Agung Hanyokrokusumo diperintahkan melakukan “tapa kesatrian” yang saat ini dikenal sebagai puncak Suroloyo. 
 

Sampai dengan kisah Pegunungan Menoreh pada jaman perjuangan Pangeran Diponegoro sebagai markas terakhir. 


Apalagi kisah mistis karena kemegahan candi Borobudur yang berkaitan dengan zaman Hindu Klasik, dengan kawasan Tanah Bagelen (bagian Selatan Bukit Menoreh) yang berperan besar dalam perjalanan sejarah Kerajaan Mataram Kuno (Hindu).


Tokoh Sri Maharaja Balitung Watukoro dikenal sebagai Maharaja Mataram Kuno terbesar, dengan wilayah kekuasaan meliputi: Jawa Tengah, Jawa Timur dan beberapa Wilayah Luar Jawa. 


Prof. Purbacaraka menyatakan bahwa Sri Maharaja Balitung Watukoro berasal dari daerah Bagelen. 
Berikut ini adalah raja Kerajaan Mataram Kuno saat berpusat di Jawa Tengah.

  1. Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya (732-760 M)
  2. Sri Maharaja Rakai Panangkaran (760-780 M)
  3. Sri Maharaja Rakai Panunggalan/ Dharmatungga (780-800 M)
  4. Sri Maharaja Rakai Warak/Indra/Sri Maharaja Dharanindra Sang Prabu Wirawairi Mathana penguasa Asia Tenggara  (Syailendra) (800-820 M). Raja Dharanindra dikenal sebagai penakluk musuh perwira yang kekuasaannya merambah hingga wilayah Kamboja dan Campa. 
  5. Setelah Raja Dharanindra wafat, putranya, Samaragrawira, melanjutkan takhta. Pada masa pemerintahan Samaragrawira, Kamboja berhasil membebaskan diri dari penjajahan Jawa pada tahun 802, sebuah peristiwa yang tertulis dalam Prasasti Po Ngar. Akhir masa pemerintahan Samaragrawira, kekuasaan Sriwijaya dibagi menjadi dua wilayah pengawasan: Samaratungga di Pulau Jawa dan Balaputradewa di Pulau Sumatera. Kedua penguasa ini adalah putra Samaragrawira, dengan Balaputradewa mengepalai Sriwijaya di Sumatera. Sedangkan ibunya, Dewi Tara putri Sri Dharmasetu berasal dari Wangsa Soma. Prasasti Nalanda juga menyebut hubungan erat antara Balaputradewa dengan raja dari India, Dewapaladewa. Saat itu Dewapaladewa bahkan memberikan lahan di wilayah Benggala untuk pembangunan vihara dan asrama yang diprakarsai Balaputradewa.
  6. Sri Maharaja Rakai Garung/ Samaratungga (820-840 M). 
  7. Sri Maharaja Rakai Pikatan dan Maharatu Pramodawardani (840-856 M)
  8. Sri Maharaja Rakai Kayuwangi alias Dyah Lokapala (856-882 M)
  9. Sri Maharaja Rakai Watuhumalang (882-899 M)
  10. Sri Maharaja Rakai Watukara Dyah Balitung (898-915 M)
  11. Raja Daksa (915-919 M.
  12. Raja Tulodong (919-924 M)
  13. Raja Sumba Dyah Wawa (924 M) alias Sri Maharaja Rakai Sumba Dyah Wawa Sri Wijayalokanamottungga naik takhta menggantikan Sri Maharaja Pu Wagiswara. Nama Rakai Sumba tercatat dalam Prasasti Sukabumi tanggal 7 Maret 927, menjabat menjabat sebagai Sang Pamgat Momahumah, yaitu semacam pegawai pengadilan. Selain bergelar Rakai Sumba, Dyah Wawa juga bergelar Rakai Pangkaja. 


      Dalam Prasasti Wulakan tanggal 14 Februari 928, Dyah Wawa mengaku sebagai anak Kryan Landheyan sang Lumah ri Alas (putra Kryan Landheyan yang dimakamkan di hutan). Nama ayahnya ini mirip dengan Rakryan Landhayan, yaitu ipar Rakai Kayuwangi yang melakukan penculikan dalam peristiwa Wuatan Tija


      Saudara perempuan Rakryan Landhayan yang menjadi istri Rakai Kayuwangi bernama Rakryan Manak, yang melahirkan Dyah Bhumijaya. Ibu dan anak itu suatu hari diculik Rakryan Landhayan, namun keduanya berhasil meloloskan diri di desa Tangar. Anehnya, Rakryan Manak memilih bunuh diri di desa Taas, sedangkan Dyah Bhumijaya ditemukan para pemuka desa Wuatan Tija dan diantarkan pulang ke hadapan Rakai Kayuwangi. 


      Dyah Wawa mendapatkan kekuasannya setelah berhasil mengkudeta raja sebelumnya. Sosok Mpu Sindok yang disebut membantu kudeta Dyah Wawa, kemudian diganjar jabatan lebih penting dibanding di era Dyah Tulodhong, yang sempat diemban Mpu Sindok. Mpu diberikan jabatan khusus oleh Raja Rakai Sumba Dyah Wawa sebagai Rakryan Halu, sedangkan jabatan Rakai Hino diemban oleh Mpu Ketuwijaya.


      Perkenalkan dulu ya, namaku PRASETYO AJI, 33 tahun lalu tepatnya tanggal 5 Nopember 1975, tepat hari RABU PON (tapi jangan dikirim ke Reg Primbon lho) aku dilahirkan di poliklinik komplek Panca Arga, Akademi Militer, Magelang.


      Kebetulan Bapak berdinas sebagai prajurit di Dinas Peralatan dan Amunisi - Akademi Militer Magelang sampai beliau purnawirawan alias pensiun Sersan Satu / Bintara (kegigihan dan semangat beliau walaupun hanya lulus Sekolah Rakyat karena dari umur 7 tahun menjadi anak yatim, menjadi tauladan bagiku dalam bekerja).


      Ngomong-ngomong, kenapa ya kok aku pakai nama ki Gede Menoreh? 



      Begini ceritanya, dari kecil aku memang hobby membaca terutama yang ada kisah babad/ wayang/ sejarahnya maupun komik, salah satu bacaan favoritku adalah Api di Bukit Menoreh, apalagi sekarang badanku super gede/ obesitas (beratku 110 kg, tinggi badan 168 cm) naik drastis 200% dari 8 tahun yang lalu.


      Secara kebetulan bapakku berasal dari dusun Sangen desa Candirejo (saya ingat dongeng waktu kecil, kyai Ahmad Husein adalah mbah canggah ku cikal bakal brayat Brangkal Sangen) dan ibuku dari dusun Parakan desa Ngargogondo.


      Konon cerita pakdhe ku Muhammad Basarudin dahulu ada tokoh seumuran dengan mbah canggah ku di desa Ngargogondo ada tokoh terkenal namanya Kyai Hasyim, yang masih keturunan trah kesembilan kanjeng Sunan Drajat/ Raden Hasyim/ Raden SyarifudinSunan Mayong Madu dengan Nyai Retna Ayu Candra Sekar. 



      Selain menikah dengan Dewi Sufiyah, Raden Hasyim menikah dengan Nyai Kemuning putri Kyai Mayang Madu dan kemudian menikah pula dengan Nyai Retna Ayu Candra Sekar Putri Arya Wiranatapada atau Arya Suryadilaga, Adipati Kediri.



      Kisah pernikahan Raden Hasyim dengan putri Adipati Kediri, kiranya berkaitan dengan sumber-sumber historiografi yang menyinggung keislaman Adipati Kediri beserta putrinya, yang oleh Sir Thomas Standford Raffles dalam The history of Java disebutkan bahwa setelah memeluk Islam, Adipati Kediri beserta putrinya itu hilang dari Kadipaten. 


      Babad Sangkala menandai hilangnya Adipati Kediri dan putrinya itu seiring dengan dikepungnya sisa terakhir kekuatan lama oleh orang-orang Islam. Waktu itu dicatat Babad Sangkala sebagai tahun Jawa 1473 yang sama dengan tahun 1551 Masehi. 


      Catatan tahun Jawa 1473 dalam Babad Sangkala ini perlu dikaji, mengingat Sunan Drajat disebut sudah wafat sekitar tahun 1522 Masehi. 


      Apakah setelah sunan Drajat wafat, ayah beranak itu kembali ke Kediri dan kemudian hilang dalam kekacauan, yang disusul serangan Sunan Prapen dalam bentuk pembakaran Kota Kediri).



      Nota bene kedua desa tersebut termasuk dalam wilayah Kecamatan Borobudur Kabupaten Magelang, yang berada persis di sebelah Tenggara pegunungan Menoreh, sekitar 2,5 km dari candi Borobudur.


      Jadi wajar kan kalau aku berbadan Gede (gembul kata anakku) yang punya ini leluhur di lereng menoreh bikin blog “ki Gede Menoreh”.



      Cerita sebelumnya klik di laman ini:

      CANDIREJO - BOROBUDUR (DESA WISATA, SENI, TRADISI DAN BUDAYA) KULINERAN BUBUR MANGUT DAN BELAJAR GAMELAN

      https://kigedemenoreh.blogspot.com/2014/01/nikmatnya-mangut-beong-dan-lentho.html?m=1

      BAHAGIA DAN IKHLAS TELAH KURAIH SEUTUHNYA DI LERENG SUROLOYO - MENOREH

      https://kigedemenoreh.blogspot.com/2023/01/?m=1